BatasKota.id Kutai Kartanegara – Persoalan lahan di Kilometer 8, Desa Separi, Kecamatan Tenggarong Seberang kembali mencuat setelah masyarakat Adat Kutai menyampaikan pemberitahuan resmi terkait rencana aktivitas penanaman di area yang diklaim sebagai tanah adat.
Aktivitas penanaman, akan dilaksanakan dilokasi tanah masyarakat adat Kutai Desa Separi pada tanggal 11 Desember 2025 mendatang.
Langkah tersebut, didukung Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI–Polri (FKPPI) 1802, sebagai pendamping hukum masyarakat dalam sengketa ini.
Pemberitahuan tersebut disampaikan setelah serangkaian proses musyawarah dan pertemuan antara warga adat, pemerintah desa, hingga instansi terkait. Rencana penanaman diputuskan sebagai bentuk penegasan hak masyarakat adat atas lahan yang selama ini disebut terdorong untuk dikelola oleh PT JMB Group KRA.
Junaidi Sopian, Humas FKPPI 1802, menjelaskan bahwa keputusan masyarakat adat melakukan aktivitas penanaman didasari catatan panjang proses penyelesaian sengketa yang belum menemukan titik terang.
Sejumlah rapat telah digelar, mulai dari Kantor Desa Bhuana Jaya hingga melibatkan aparat kepolisian dan dinas teknis pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara.
“Sudah beberapa kali pertemuan dilakukan, termasuk dengan menghadirkan BPN Kukar, Dinas Pertambangan, dan Dinas Transmigrasi. Pada 15 Juni 2025, persoalan ini bahkan sudah dilaporkan kepada Kapolres Kukar, dan saat itu beliau menyarankan penyelesaian secara kekeluargaan,” ujar Junaidi.
Namun ketika Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Separi mengundang pihak perusahaan untuk rapat dengar pendapat, pihak perusahaan tidak hadir.
Mereka hanya menyampaikan alasan telah melakukan pembayaran, dan mengklaim legalitas penerbitan surat kepemilikan periode 2011–2013.
Menurut Junaidi, masyarakat adat Separi memiliki dasar kuat untuk mempertahankan klaim atas lahan tersebut.
Mereka menegaskan bahwa sebelum izin usaha pertambangan (IUP) PT KRA terbit, warga adat telah lebih dulu menggarap dan memanfaatkan wilayah di Kilometer 8, termasuk area Rebak Hinas dan Sungai Separi Anak.
“Ini bukan klaim tiba-tiba. Warga adat memiliki sejarah pengelolaan lahan jauh sebelum izin tambang diterbitkan. Karena itu ketika perusahaan tidak menunjukkan itikad baik dalam proses klarifikasi dan dialog, masyarakat memilih melakukan aktivitas penanaman sebagai bentuk penegasan hak,” jelasnya.
Ia juga menyoroti temuan masyarakat terkait saksi batas dalam dokumen SKPT atas nama M. Munari, yang disebut bukan penduduk asli Separi, melainkan mantan Camat Tenggarong Seberang.
Hal tersebut, kata Junaidi, memperkuat kekhawatiran masyarakat mengenai keabsahan sejumlah dokumen yang diklaim perusahaan.
FKPPI 1802 memastikan bahwa langkah pemberitahuan aktivitas penanaman dilakukan secara resmi sesuai mekanisme administrasi Desa.
Surat tersebut disampaikan kepada Kepala Desa Separi dan ditembuskan kepada BPD, Camat, Kapolsek, Koramil, Kapolres, Kodim, Danrem, hingga Ketua FKPPI 1802 Kota Samarinda.
“Pemberitahuan ini bukan tindakan sepihak. Semua unsur Pemerintah Daerah Kami libatkan, agar tidak ada kesalahpahaman dan agar aktivitas yang dilakukan masyarakat adat tetap berjalan tertib,” tegas Junaidi.
Ia menambahkan bahwa aktivitas penanaman ini bukan bentuk provokasi, melainkan upaya masyarakat mempertahankan hak atas tanah yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka.
“Intinya, masyarakat adat hanya ingin hak mereka dihormati dan diakui secara adil sesuai sejarah penguasaan lahan. Karena itu setiap langkah kami pastikan berada di jalur prosedur dan transparan,” pungkasnya.













